TATA CARA BERDOA

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

Minggu, 13 Maret 2011

METAKOGNISI DAN KEBERHASILAN BELAJAR

Gatut Iswahyudi
ABSTRAK
Mata kuliah analisis real sebagai bagian dari analisis secara umum merupakan suatu mata kuliah yang memiliki karakteristik dengan struktur deduktif aksiomatik yang ketat. Sesuai dengan karakteristik tersebut topik dalam mata kuliah analisis real sarat dengan definisi dan teorema. Fakta yang penulis temui sepanjang pembelajaran mata kuliah analisis real, kelemahan mendasar mahasiswa adalah kemampuan menalar yang rendah. Padahal kemampuan penalaran merupakan suatu kemampuan yang mutlak harus dikuasai oleh orang yang mendalami matematika. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun diperlukan kemampuan menalar yang baik. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa metakognisi memainkan peran penting dalam mengembangkan kualitas penalaran serta dalam perolehan dan penerapan keterampilan belajar pada berbagai bidang.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menemukan dan mengembangan Model Pembelajaran Berbasis Metakognisi dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Penalaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS, (2) Mendapatkan informasi tentang efektifitas pembelajaran berbasis metakognisi dalam rangka meningkatkan kualitas penalaran mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS, (3) Mendapatkan gambaran tentang respon mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS terhadap pembelajaran yang berbasis metakognisi.
Dengan mengacu pada rumusan permasalahan, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian eksperimen yang diawali dengan penelitian pengembangan. Penelitian pengembangan yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berkualitas yang meliputi Rencana Pembelajaran (RP), Buku Dosen, Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKS) dan Tes Hasil Belajar.
Berdasarkan pengembangan perangkat pembelajaran dengan menggunakan model 4-D (four D Models) yang telah dimodifikasi, dihasilkan perangkat pembelajaran yang baik untuk materi limit dan kekontinuan. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan meliputi: (1) rencana pembelajaran, (2) buku dosen, (3) lembar kegiatan mahasiswa, dan (5) tes hasil belajar. Hal ini ditunjukkan oleh: (a) kemampuan dosen mengelola pembelajaran: baik, (b) aktivitas mahasiswa efektif, dan (c) respon mahasiswa positif. Kemudian Pembelajaran berbasis metakognisi efektif untuk mengajarkan materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real II. Hal ini ditunjukkan oleh: (a) kemampuan dosen mengelola pembelajaran: baik, (b) aktivitas mahasiswa: efektif, (c) ketuntasan belajar secara klasikal: 91.89% mahasiswa tuntas belajar individual, dan (d) respon mahasiswa terhadap pembelajaran: positif. Juga diperoleh : Hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real, dan Kualitas penalaran mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real.
Kata Kunci : metakognisi, penalaran , Limit dan Kekontinuan
A. PENDAHULUAN
Belajar merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam diri manusia. Namun sampai sekarang belum diketahui secara persis terjadinya proses belajar. Seperti yang dinyatakan oleh Hudoyo (1988 : 5) bahwa proses terjadinya belajar sangat sulit diamati. Perubahan tingkah laku tersebut adalah dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Perubahan tingkah laku memang dapat diamati dan berlaku dalam waktu yang relatif lama. Perubahan tingkah laku yang berlaku dalam relatif lama tersebut harus disertai usaha sehingga seseorang dari tidak dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu.Walker (45 : 2003) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman. CT Morgan dalam Alek Sobur ( 80 : 2003) menyatakan bahwa belajar sebagai ”suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu. Good & Boophy menyatakan bahwa belajar bukanlah merupakan suatu tingkah laku, tetapi merupakan suatu proses yang benar-benar bersifat internal pada individu dalam usaha memperoleh berbagai hubungan baru.
Pada dasarnya pada saat seseorang belajar (matematika) terjadi proses berpikir, sebab pada saat belajar ia melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir itu seseorang menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang telah ada dalam pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui informasi kemudian dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, membentuk pengertian baru. Pengertian yang baru dikonstruksi berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Dengan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki dalam situsi yang baru, mahasiswa sendiri memberikan makna terhadap materi yang dipelajarinya dengan cara membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui.
Pembelajaran matematika di sekolah banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme. Soedjadi (2007 : 28) manyatakan bahwa aliran konstruktivisme cenderung berpendapat bahwa pengetahuan perlu dikonstruk atau dibangun sendiri oleh pribadi yang ingin tahu atau perlu memahaminya. Ini berarti bahwa mahasiswa dalam belajar harus secara individual menemukan dan mentransformasi informasi yang komplek, memeriksa aturan yang ada dan bila perlu merevisi.Mahasiswa belajar dengan menerima informasi (dalam sensori register) kemudian meneruskan ke memori jangka pendek dan sebagai pengetahuan yang baru disimpan pada memori jangka panjang. Pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka panjang selalu akan diperbaharui melalui suatu transformasi. Menurut Piaget, transformasi dilakukan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan suatu proses pengintegrasian informasi baru kedalam skema yang telah terbentuk.
Pada proses asimilasi, informasi yang baru dimodifikasi sehingga sesuai dengan skema yang telah dimiliki. Sedangkan akomodasi merupakan pengintegrasian informasi baru melalui pembentukan skema baru untuk menyesuaikan dengan informasi yang baru. Artinya bahwa dalam pikiran seseorang ada suatu proses. Proses pengintegrasian informasi baru dengan skema yang ada dan diikuti dengan terbentuk dan berkembangnya skema baru, sebenarnya telah terjadi konstruksi pengetahuan. Pada saat mengkonstruksi statu pengetahuan, pada dasarnya terjadi proses bagaimana mahasiswa memahami konsep.
Mata kuliah analisis real sebagai bagian dari analisis secara umum merupakan suatu mata kuliah yang memiliki karakteristik dengan struktur deduktif aksiomatik yang ketat. Sesuai dengan karakteristik tersebut topik dalam mata kuliah analisis real sarat dengan definisi dan teorema. Ini berarti mahasiswa dituntut harus mampu memahami setiap definisi dan teorema yang dipelajari. Salah satu syarat agar hal tersebut dapat dicapai adalah mahasiswa harus mempunyai kemampuan untuk membuktikan teorema-teorema yang diberikan, maupun kemampuan membuktikan beberapa permasalahan yang berkenaan dengan soal atau tugas yang diberikan. Pemberian mata kuliah tersebut dimaksudkan agar mahasiswa memahami beberapa struktur dalam analisis serta dapat memanfaatkannya untuk menyelesaikan masalah sederhana dalam analisis serta mampu berpikir logis dan bernalar secara matematika dalam menyelesaikan masalah.
Fakta yang penulis temui sepanjang pembelajaran mata kuliah analisis real, kelemahan mendasar mahasiswa adalah kemampuan menalar yang rendah. Padahal kemampuan penalaran merupakan suatu kemampuan yang mutlak harus dikuasai oleh orang yang mendalami matematika. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun diperlukan kemampuan menalar yang baik.Tujuan diberikannya mata kuliah analisis real merupakan sarana untuk melatih mahasiswa berpikir logis atau melakukan penalaran secara benar. Hal ini sejalan sejalan dengan ciri mata kuliah tersebut yaitu sarat dengan definisi dan teorema serta merupakan mata kuliah dengan struktur deduktif aksiomatik yang ketat.
Oleh karena itu tingkat kemampuan penalaran formal mahasiswa digunakan sebagai pemandu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menyelesaikan soal.Menurut Piaget, pada taraf operasi formal anak sudah memperkembangkan pemikiran abstrak dan penalaran logis untuk berbagai persoalan. Dalam taraf kognitif ini skema anak terus berkembang. Oleh karena skema seseorang terus berkembang dalam taraf perkembangan kognitifnya, berarti skema seorang anak mengenai suatu obyek tertentu, dapat tidak sama dengan skema orang dewasa. Di pihak lain, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap mahasiswa dan proses pembelajaran pada program studi pendidikan matematika di FKIP UNS diperoleh bahwa, dalam proses pembelajaran dosen belum secara terstruktur melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan kualitas penalaran mahasiswa. Dosen hanya melihat bahwa apabila ada mahasiswa yang dapat menjawab secara benar, maka mahasiswa tersebut dikategorikan telah memahami konsep secara benar. Dosen cenderung lebih banyak menginformasikan tentang definisi suatu konsep. Setelah meginformasikan definisi, diikuti dengan contoh soal dan penyelesaiannya. Dosen belum sampai pada usaha untuk meningkatkan kualitas penalaran mahasiswa. Padahal penalaran merupakan suatu kemampuan yang sangat mendukung dalam memahami konsep-konsep dalam matematika, maka perlu dilakukan suatu kajian atau penelitian tentang model pembelajaran yang meningkatkan kualitas penalaran mahasiswa.
Matematika sebagai wahana pendidikan tidak hanya dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya mencerdaskan mahasiswa, tetapi dapat pula untuk membentuk kepribadian mahasiswa serta mengembangkan keterampilan tertentu (Soedjadi, 32 : 2000). Proses belajar matematika itu sendiri merupakan proses mental yang berkaitan dengan kegiatan berpikir dan bagaimana pengembangannya untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan membentuk sikap. Lebih jauh Soedjadi (34 : 2000) mengatakan bahwa proses penalaran merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian dosen terutama untuk membantu mahasiswa agar dapat mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah baik dalam konteks dunia nyata maupun dalam konteks matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Lester (dalam Gartman dan Freiberg, 1993) bahwa tujuan utama mengajarkan matematika adalah tidak untuk melengkapi mahasiswa dengan sekumpulan keterampilan atau proses, tetapi lebih kepada memungkinkan mahasiswa berpikir atau melakukan penalaran.
Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa metakognisi memainkan peran penting dalam mengembangkan kualitas penalaran serta dalam perolehan dan penerapan keterampilan belajar pada berbagai bidang penemuan (Flavell, 1979, Panaoura dan Philippou, 2005). Mahasiswa yang mampu menyerap pelajaran matematika pada tingkatan paling tinggi dan memperoleh informasi tentang latihan dalam strategi metakognitif (yaitu perencanaan, pemantauan, dan evaluasi belajarnya sendiri) memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatur belajarnya (Chamot, Dale, O’Malley dan Spanos, 1992). Pemecahan masalah yang efektif dapat diperoleh dengan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan strategi metakognitif ketika menyelesaikan soal ( McLoughlin dan Hollingworth, 2003 ).
Dari uraian yang sudah dikemukakan di atas, dapat diketahui betapa pentingnya kemampuan metakognisi dimiliki oleh mahasiswa pada semua tingkat pendidikan. Dosen dalam hal ini dapat mendorong mahasiswa untuk memiliki kemampuan tersebut melalui serangkaian kegiatan pembelajaran. Agar dosen dapat membangkitkan kemampuan metakognisi mahasiswa, dosen sendiri harus punya kemampuan metakognisi dan punya pemahaman yang memadai tentang proses metakognisi dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan suatu penanaman kesadaran kepada para dosen atau calon dosen tentang proses metakognisi yang mestinya dilaksanakan meningkatkan kualitas penalaran.
Berkaitan dengan maksud tersebut di atas, maka penulis memandang perlu untuk mengembangkan model pembelajaran berbasis metakognisi dalam rangka meningkatkan kualitas penalaran mahasiswa.Berdasar permasalahan yang terungkap di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut: (1) Bagaimana hasil pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Metakognisi dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Penalaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS? (2) Apakah pembelajaran berbasis metakognisi efektif untuk meningkatkan kualitas penalaran mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS? (3) Bagaimanakah respon mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS terhadap pembelajaran yang berbasis metakognisi?
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan tentang Metakognisi
Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar pada umumnya memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir (Elaine & Sheila, 1990; Huitt, 1997; NCREL, 1995; Kasper, 1993; O’Neil & Brown, 1997; Livington, 1997). Namun untuk dapat memahami lebih mendalam tentang pengertian metakognisi, maka berikut dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta penjelasannya.
O’Neil dan Brown (1997) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan pengertian di atas, Mohamad Nur (2000) mengemukakan bahwa metakognisi berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Huitt (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang sistem kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial seseorang dalam “belajar untuk belajar’.Flavell (Livington, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang serupa juga dikemuakan oleh Baker & Brown, 1984; Gagne, E; 1993 dalam (Mohamad Nur, 2000) bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedangkan Huitt (1997) mengemukakan dalam redaksi yang berbeda tentang dua komponen yang termasuk dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b) regulasi bagaimana kita belajar.
Gambaran lebih jelas tentang komponen-komponen metakognisi dapat dipahami dalam pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh Flavel (1985) dalam Mohamad Nur (2000) sebagai berikut:“ metakognisi adalah pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk kognitif orang itu sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan produk tersebut. …… Metakognitif berhubungan, salah satu diantaranya, dengan pemonitoran aktif dan pengendalian yang konsekwen serta pengorganisasian proses pemonitoran dan pengendalian ini dalam hubungannya dengan tujuan kognitif, pada mana proses-proses tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret.”
Pengetahuan metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana seseorang belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri. Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan Mohamad Nur (2000) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang pebelajar tentang proses berpikirnya sendiri disamping pengetahuan tentang berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam situasi pembelajaran tertentu. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa membuat suatu peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan meningat sejumlah besar informasi baru.
Sedangkan pengalaman metakognitif meliputi penggunaan startegi-strategi metakognitif atau regulasi metakognitif (Brown dalam Livington, 1997). Sejalan dengan itu, Mohamad Nur (2000) menjelaskan bahwa pemonitoran kognitif adalah kemampuan pebelajar untuk memilih, menggunakan, dan memonitor strategi-strategi belajar yang cocok, cocok dengan gaya belajar mereka sendiri maupun dengan situasi tugas yang sedang dihadapi. Mengenai pentingnya kegiatan pemonitoran kognitif ini, Winkel (1996) mengemukakan bahwa:
“Biarpun siswa diberikan berbagai strategi kognitif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan problem tertentu, namun tidak berarti bahwa strategi-strategi itu dapat digunakan terhadap segala macam problem. Akhirnya siswa harus menyerap strategi-strategi itu, kemudian menentukan sendiri strategi mana yang cocok dengan masalah A dan mana yang cocok dengan masalah B. Dengan kata lain, fleksibelitas dalam berpikir di pihak siswa merupakan sasaran instruksional yang sangat ideal.”
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sederhana metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya sendiri, atau pengetahuan seseorang tentang kognisinya serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam belajar dan berpikir.
Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan tiga aspek dari pengetahuan metakognitif, yaitu (a) pengetahuan strategi (strategic knowledge), (b) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional, dan (c) pengetahuan-diri (self-knowledge). Flavel (1979) dalam Livingston, (1997) membagi pengethuan kognitif ke dalam tiga kategori, yaitu (a) variabel pengetahuan-diri (individu), (b) variabel tugas, dan (c) variabel strategi.
Sedangkan indikatior-indikator metakognisi menurut Hacker tergambar dari pengertian metakognitif yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition: Definitions and Empirical Foundations” (http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html) bahwa metakognitif adalah proses berpikir seseorang tentang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: apa yang seseorang ketahui (yaitu pengetahuan metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif), dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (yaitu pengalaman metakognitif).
Huitt (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?
(b) Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?
(c) Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?
(d) Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?
(e) Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk mempelajarinya?
(f) Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?
(g) Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?
(h) Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?
Marzano dkk (1988) menjelaskan bahwa metakognisi mencakup dua komponen, yaitu (a) pengetahuan dan kontrol diri, dan (b) pengetahuan dan kontrol proses. Siswa yang berhasil adalah siswa yang secara sadar dapat memonitor dan mengontrol belajar mereka. Pusat dari pengetahuan-diri dan regulasi-diri adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Sedangkan elemen dari pengetahuan dan kontrol proses adalah (a) pengetahuan pentingdalam metakognitif dan (b) kontrol pelakasana dari perilaku (http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm).
Mohamad Nur (2002) mengemukakan secara operasional tentang kemampuan metakognitif yang dapat diajarkan kepada siswa, seperti kemampuan–kemampuan untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak.
Sedangkan Schoenfeld (1987) mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara untuk menjelaskan tentang metakognitif dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk memecahkan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk memecahkan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam menggambar proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi diri menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukan ketika memecahkan masalah dan seberapa baiknya seseorang menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.
2. Tinjauan tentang Penalaran
Copi (1982) menjelaskan bahwa “reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premisses”. Maksud kutipan tersebut adalah bernalar merupakan jenis khusus dari berpikir yang berkenaan dengan pengambilan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis. Pada bagian lain ditegaskan oleh Copi bahwa tidak semua berpikir adalah bernalar. Kegiatan berpikir yang bukan bernalar seperti mengingat sesuatu atau membayangkan sesuatu (melamun). Ditambahkan oleh Suriasumantri (1990) bahwa penalaran merupakan proses berpikir untuk menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Kegiatan berpikir dalam penalaran tidak termasuk perasaan. Tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan pada penalaran, misalnya berintuisi. Penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu untuk menemukan kebenaran. Yang dimaksud dengan karakteristik tertentu adalah pola berpikir yang logis dan proses berpikirnya bersifat analitis. Pola berpikir yang logis atau konsisten, berarti menggunakan logika tertentu. Sedangkan bersifat analitis adalah merupakan konsekuensi dari pola berpikir tertentu. Maksudnya, penelaahan terhadap premis-premis dan hubungannya untuk memperoleh kesimpulan, didasarkan pada logika yang digunakan.
Gie (1991) menyatakan bahwa penalaran adalah proses pemikiran manusia yang berusaha tiba pada pernyataan baru yang merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan lain yang diketahui. Pernyataan yang diketahui itu sering disebut dengan pangkal pikir (premis), sedangkan pernyataan baru yang ditemukan disebut kesimpulan. Soekadijo (2003) menambahkan bahwa proses penalaran meliputi aktivitas mencari proposisi-proposisi untuk disusun menjadi premis, menilai hubungan proposisi-proposisi di dalam premis itu, dan menentukan konklusinya.
Bernalar matematika merupakan salah satu kemampuan yang diharapkan untuk dimiliki mahasiswa dalam mempelajari matematika, seperti yang dicantumkan pada Kurikulum Matematika 1994 (Depdikbud, 1993), Kurikulum Berbasis Kompetensi (Puskur, 2001; Puskur, 2003), dan NCTM (2000). Penalaran matematika merupakan komponen penting dari belajar matematika dan merupakan alat untuk memahami abstraksi (Russel, 1999). Ditambahkan oleh Jones (1999) dan NCTM (2000a) bahwa penalaran matematika merupakan fondasi dalam memahami dan doing matematika. Sedangkan Artzt & Yaloz (199) menjelaskan bahwa penalaran matematika merupakan bagian integral dari pemecahan masalah (problem solving). Jika dikaitkan dengan berpikir (thinking), maka penalaran matematika merupakan komponen utama dari berpikir yang melibatkan pembentukan generalisasi dan menggambarkan konklusi yang valid tentang ide dan bagaimana ide-ide itu dikaitkan (Artzt & Yaloz, 1999; Peressini & Webb, 1999).
Bernalar matematika dapat juga dipandang sebagai aktivitas dinamis yang melibatkan suatu variasi cara berpikir dalam memahami ide, merumuskan ide, menemukan relasi antara ide-ide, menggambarkan konklusi tentang ide-ide dan relasi antara ide-ide (Jones, 1999). Penalaran matematika terjadi ketika mahasiswa: 1) mengamati pola atau keteraturan, 2) merumuskan generalisasi dan konjektur berkenaan dengan keteraturan yang diamati, 3) menilai/menguji konjektur; 4) mengkonstruk dan menilai argumen matematika, dan 5) menggambarkan (menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah ide dan keterkaitannya (NCTM, 2000a; Artzt & Yaloz, 1999, dan Peressini & Webb, 1999).
C. METODOLOGI PENELITIAN
Dengan mengacu pada rumusan permasalahan, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian eksperimen yang diawali dengan penelitian pengembangan. Penelitian pengembangan yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berkualitas yang meliputi Rencana Pembelajaran (RP), Buku Dosen, Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKS) dan Tes Hasil Belajar. Hal ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama. Terkait dengan pertanyaan penelitian yang kedua dan ketiga, maka penelitian ini dikategorikan penelitian eksperimen karena ditandai adanya perlakuan yang dirancang secara sengaja untuk mengubah suatu kondisi yakni menerapkan pembelajaran berbasis metakognisi dengan menggunakan perangkat pembelajaran dari hasil penelitian pengembangan.
Selanjutnya, gejala pertama yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah gambaran dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis metakognisi kemampuan dosen mengelola pembelajaran, aktivitas mahasiswa, kualitas penalaran mahasiswa dan respon mahasiswa terhadap pembelajaran. Hal ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua yaitu apakah pembelajaran berbasis metakognisi efektif untuk mengajarkan materi analisis real. Gejala kedua yang akan diselidiki yaitu perbedaan kualitas penalaran mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi dan tidak. Hal ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga yaitu apakah penalaran mahasiswa yang pembelajarannya berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan yang pembelajarannya tidak berbasis metakognisi pada mata kuliah analisis real.
Metode Pengembangan Perangkat PembelajaranModel pengembangan yang akan digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini adalah modifikasi dari model 4-D Thiagarajan, dkk. (1974). Dalam model 4–D yang asli ada 4 tahap yang dilalui yaitu define, design, develop, dan disseminate, untuk penelitian pengembangan ini dilakukan pengurangan tahap disseminate (penyebaran), sehingga hanya memuat tahap define (pendefinisisan), design (perancangan), dan develop (pengembangan). Tahap penyebaran (disseminate) tidak dilakukan karena sampai dengan tahap ketiga yaitu tahap develop (pengembangan) sudah diperoleh perangkat pembelajaran yang baik.
Instrumen dan Metode Pengumpulan Data dalam Pengembangan Perangkat
Instrumen yang dimaksud terdiri dari lembar validasi perangkat, lembar observasi (pengamatan) dan angket respon mahasiswa. Instrumen pengumpul data uji coba perangkat pembelajaran, secara singkat diuraikan sebagai berikut.Lembar validasiLembar validasi terdiri dari lembar validasi RP, lembar validasi buku dosen, lembar validasi lembar kegiatan mahasiswa, dan lembar validasi tes hasil belajar. Lembar validasi tersebut diberikan kepada para ahli (validator) bersama dengan perangkat yang akan divalidasi untuk memperoleh masukan/data tentang penilaian para ahli terhadap perangkat pembelajaran tersebut.Pada masing-masing lembar validasi perangkat pembelajaran, validator menuliskan penilaiannya. Penilaian terdiri atas lima kategori, yaitu tidak ada (nilai 0), kurang (nilai 1), cukup (nilai 2), baik (nilai 3), dan sangat baik (nilai 4).
Validator juga menuliskan saran dan komentarnya.Lembar observasi kemampuan dosen mengelola pembelajaranInstrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan dosen dalam mengelola pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang berbasis metakognisi.Data kemampuan dosen mengelola pembelajaran diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan oleh seorang pengamat dengan cara memberi tanda cek (Ö) pada kolom yang sesuai dengan kategori pengamatan yang diamati. Kriteria penilaian pengelolaan pembelajaran terdiri dari 4 kriteria penilaian yaitu. 1 = sangat kurang, 2 = kurang, 3 = cukup, 4 = baik, 5 = sangat baik.Lembar observasi aktivitas mahasiswaInstrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas mahasiswa selama pembelajaran. Data aktivitas mahasiswa diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan oleh seorang pengamat terhadap mahasiswa yang diamati. Pada lembar pengamatan aktivitas mahasiswa pengamat menuliskan nomor kategori aktivitas mahasiswa yang dominan muncul dalam kegiatan pembelajaran dalam selang waktu 5 menit. Setiap 4 menit pengamat melakukan pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa, kemudian 1 menit berikutnya pengamat menuliskan nomor kategori aktivitas mahasiswa.Angket respon mahasiswa Angket digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran berbasis metakognisi pada mata kuliah analisis real.
Data ini akan dikumpulkan dengan menggunakan angket yang diberikan ) pada kolomkepada mahasiswa. Mahasiswa memberikan tanda cek list ( yang tersedia untuk setiap pertanyaan yang diajukan. Angket tersebut diberikan kepada mahasiswa pada akhir kegiatan pembelajaran dengan menggunakan instrumen yang telah disediakan.Tes Kualitas Penalaran MahasiswaTes Kualitas Penalaran Mahasiswa digunakan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan penalaran mahasiswa.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengembangan perangkat pembelajaran dengan menggunakan model 4-D (four D Models) yang telah dimodifikasi, dihasilkan perangkat pembelajaran yang baik untuk materi limit dan kekontinuan. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan meliputi: (1) rencana pembelajaran, (2) buku dosen, (3) lembar kegiatan mahasiswa, dan (5) tes hasil belajar. Hal ini ditunjukkan oleh: (a) kemampuan dosen mengelola pembelajaran: baik, (b) aktivitas mahasiswa efektif, dan (c) respon mahasiswa positif. Kemudian Pembelajaran berbasis metakognisi efektif untuk mengajarkan materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real II. Hal ini ditunjukkan oleh: (a) kemampuan dosen mengelola pembelajaran: baik, (b) aktivitas mahasiswa: efektif, (c) ketuntasan belajar secara klasikal: 91.89% mahasiswa tuntas belajar individual, dan (d) respon mahasiswa terhadap pembelajaran: positif. Juga diperoleh : Hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real, dan Kualitas penalaran mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis realAnalisis Inferensial
Data Hasil Belajar = 5 % diperoleh F(0,95;1;67) =Dengan menggunakan taraf signifikan 3.98, berarti F* < F(0,95;1;67), maka H0 diterima. Artinya model regresi linier kelas eksperimen dan kelas kontrol sejajar. Di lain pihak tampak bahwa kedua model regresi sejajar dan tidak berimpit maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar mahasiswa yang diberikan pembelajaran berbasis metakognisi menghasilkan prestasi belajar yang berbeda dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang diberikan pembelajaran konvensional. Selanjutnya berdasarkan kondisi garis regresi kelas eksperimen dan kelas kontrol sejajar dan konstanta garis regresi untuk kelas eksperimen lebih besar dari konstanta garis regresi untuk kelas kontrol yaitu 8.48 dan 3.82, hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan.Analisis Inferensial Data Penalaran MahasiswaSama seperti pada pengujian sebelumnya, dengan menggunakan taraf = 5 % diperoleh F(0,95;1;67) = 3.98, berarti F*signifikan < F(0,95;1;67), maka H0 diterima. Artinya model regresi linier kelas eksperimen dan kelas kontrol sejajar. Selanjutnya karena kedua model regresi sejajar dan tidak berimpit maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat penalaran mahasiswa yang diberikan pembelajaran berbasis metakognisi dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang diberikan pembelajaran konvensional. Kemusian dengan memperhatikan kondisi garis regresi kelas eksperimen dan kelas kontrol sejajar dan konstanta garis regresi untuk kelas eksperimen lebih besar dari konstanta garis regresi untuk kelas kontrol yaitu 8.07 dan 5.02, hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan.
E. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Berdasarkan pengembangan perangkat pembelajaran dengan menggunakan model 4-D (four D Models) yang telah dimodifikasi, dihasilkan perangkat pembelajaran yang baik untuk materi limit dan kekontinuan. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan meliputi: (a) rencana pembelajaran, (b) buku dosen, (3) lembar kegiatan mahasiswa, dan (4) tes hasil belajar. Hal ini ditunjukkan oleh: kemampuan dosen mengelola pembelajaran: baik; aktifitas mahasiswa efektif, respon mahasiswa: positif, dan tes hasil belajar: valid dan reliabel. (2) Pembelajaran berbasis metakognisi efektif untuk mengajarkan materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real II. Hal ini ditunjukkan oleh: kemampuan dosen mengelola pembelajaran baik, aktivitas mahasiswa efektif, ketuntasan belajar secara klasikal: 91.89% mahasiswa tuntas belajar individual, respon mahasiswa terhadap pembelajaran: positif. (3) Hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real.. (4) Kualitas penalaran mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis metakognisi lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi limit dan kekontinuan pada matakuliah analisis real..
2. Saran
Pembelajaran matematika realistik yang diterapkan pada kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini memberikan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Untuk itu peneliti menyarankan: (1) Perangkat pembelajaran yang dihasilkan masih perlu diujicobakan di program studi program studi yang lain dengan berbagai kondisi agar diperoleh perangkat pembelajaran yang benar-benar berkualitas (sebagai tahapan penyebaran dalam model pengembangan 4-D). (2) Perlu dikembangkan perangkat pembelajaran matematika untuk pokok bahasan/sub pokok bahasan yang lain pada mata kuliah analisis real. (3) Perangkat pembelajaran berbasis metakognisi untuk pokok bahasan limit dan kekontinuan ini dapat dijadikan alternatif pembelajaran dalam mata kuliah analisis real.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar